Friday 13 November 2015

Cerpen: The Piece Of Cake




THE PIECE OF CAKE
Oleh: Adam Syahroni
 
Cuaca yang seharusnya cerah menjadi gelap. Langit keruh oleh awan mendung. Kepulan awan tebal membentang diangkasa seakan menentang sang pencerah. Terjadi pergolakan hebat antara gelap dan terang. Membuat sang penerang menyerah dan memutuskan untuk bersembunyi sejenak. Sementara gelap membentuk payung hitam yang membentang menutupi kota daeng. Gelap menduduki tahta untuk sementara. Sebuah pertanda bagi hujan untuk segera bersenandung menghibur sang kegelapan. 

Perputaran jarum jam menunjukkan pukul satu. Dan hari ini adalah hari dimana aku akan bertemu dengan seorang wanita. Wanita yang selama beberapa hari ini mampu memikat paket hati dan logika. Melalui sebuah kotak tipis pintar yang memuat paket dunia baru. Dunia semu yang diciptakan sedemikian rupa. Dihiasi dengan warna-warni kehidupan nyata yang berjuta rasanya. Dunia yang bersampul kebohongan besar. Indah bukan? Dunia maya yang diciptakan untuk khalayak banyak manusia. Dunia dengan pesta bertopeng dalam sebuah ruang yang tak berdimensi. Dunia paralel yang sebentar lagi akan mengubah pola pikir manusia. Dunia yang membatasi  kontak fisik kita secara langsung. Dunia munafik yang terselubung. Sebuah Virus anti sosial yang akan menjangkit umat manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini perlu kita sadari untuk tidak terlalu aktif di dunia maya karna itu akan membuatmu kaku di dunia nyata. 

Siang itu aku berdiri menghadap ke timur. Memeluk badan dengan kedua tangan. Di depan sebuah kost yang aku tempati sekarang. Menunggu hujan yang belum menunjukkan  tanda-tanda mandek. Hujan ini tampaknya memaksaku untuk sedikit bermain-main dengannnya. Sambil menunggu redanya hujan kubakar sebatang rokok sambil memandang ke arah langit yang gelap.   

Kotak pintar berdering berisi sebuah pesan yang menunjukkan bahwa kupu-kupu betina kini telah hinggap di tempat yang telah ditentukan. Aku semakin gelisah antara melawan atau menunggu redanya hujan. Sudah tidak ada waktu lagi untuk memanggil pawang hujan. Hati dan pikiranku berkecamuk untuk menentukan sebuah keputusan. Seorang lelaki tidak akan membiarkan wanita menunggu terlalu lama. Itu adalah perbuatan kriminal yang setara dengan kasus pembunuhan berantai. 

Keputusanku telah bulat. Aku akan melawan alutsista alam. Sebuah pesawat tempur bernama awan hitam. Dilengkapi senjata dengan ribuan amunisi buliran hujan yang siap menembaki seluruh tubuhku tanpa ampun. Aku rela berkorban melawan beban buatan alam. Semua ini demi wanita yang dari tadi menungguku. Aku tidak sendiri, karna aku mempunyai animal machine yang bernama shogun buatan Jepang. Dengan kecepatan 160 km/jam berwarna biru melambangkan warna langit. Kutekan tombol primordial shogun yang aku tunggangi. Bersiap melawan serangan hujan. Kuda shogun melaju dengan cepat. Tapi tetap saja pakaian tempurku telah ditembus hingga menyentuh dan menjalar ketubuhku bagaikan racun. Ini semua salahku karna tidak mempersiapkan pakaian tempur yang memadai. Aku tidak peduli lagi dengan ribuan peluru bulir hujan di tubuhku. Yang terpenting aku tidak membuatnya bosan, jenuh, serta kecewa menunggu kehadiranku. 

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, aku akhirnya tiba ditempat yang telah ditentukan. Di sebuah ruko penjual aksesoris. Mataku sudah seperti kamera yang fokus terhadap satu objek. Dan tak lain adalah wanita yang sedari tadi menungguku untuk bertemu pertama kalinya. Tapi bola mataku tidak menemukan tanda-tanda keberadaan objek yang tertanam dalam otakku. Benakku gamang memperhatikan beberapa manusia yang berteduh karna takut melawan hujan. Lebih tepatnya takut basah. Aku tidak. Basah itu adalah pilihan. Sebuah pilihan pengorbanan. Berkorban demi seorang wanita. Seperti seorang ksatria romawi pada tahun 47 SM Julius Caesar  dengan kalimat Veni Vidi Vici yang artinya Aku datang, Aku lihat, Aku pulang. Pulang dengan hadiah kebahagiaan. 

Kotak pintar berdering. Aku yakin itu adalah pesan darinya. Kubuka dengan tangan yang bergetar karna kedinginan. Aku kecewa dengan pesan yang berisi sekuel kalimat tak menyenangkan. Tak lama kemudian sosok wanita yang tak kukenal menghampiriku. Dia mengagetkan lamunan kekecewaanku. Wanita ini asing bagiku. Wanita berambut panjang sebahu itu menebarkan senyum manis dengan gigi yang berbaris rapi. Kulitnya putih kontras dengan t-shirt putih berpadu dengan celana jeans biru muda yang ia kenakan. Akupun ikut tersenyum. Aku seperti dihipnotis olehnya. Kemudian menyodorkan tangan dan berkata “aku Widia teman rani”. Aku mengernyitkan kening. “Rani mana?” Dia kembali tersenyum. Ini bukanlah jawaban yang kuharapkan. Dia kemudian memberikan sebuah bingkisan yang entah apa isinya. Bingkisan yang berwarna merah bertuliskan R-CAKE. Beberapa saat setelah kuterima bingkisan tersebut dia pergi tanpa sepatah katapun. Aku semakin bingung. Apa maksud dan tujuan Rani membuat sebuah bingkisan yang dibawa oleh wanita asing tadi?

Aku memutuskan untuk pulang tanpa hadiah kebahagiaan melainkan sebuah bingkisan kebingungan. Hujan yang dari tadi sudah reda mengantarku pulang dengan raut muka kecewa. Hingga akhirnya aku tiba dalam kamar kost sederhana dihiasi beberapa poster musisi besar dunia. Rasa penasaran terhadap bingkisan itu muncul dalam benakku. Kuberanikan diri untuk mencoba membuka bingkisan sialan yang seharusnya aku buang saja ditengah jalan. Hingga hancur terinjak oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Ini bukanlah sebuah kekesalan. Tapi lebih dari itu. Aku membuka secara perlahan. Aku tak percaya pada apa yang kulihat. Aku tercekat tak bergerak melihat isi bingkisan itu. Sepotong kue yang bertuliskan I’m not the piece of cake  yang artinya “aku bukanlah sepotong kue”. Wanita yang bernama Rani memang baru kukenal. Lima hari yang lalu di sebuah sosial media. Aku berkenalan dengannya. Dan setelah apa yang terjadi hari ini.  

Aku mulai menyadari bahwa menghargai sebuah proses adalah sebuah tabungan waktu yang sangat berharga melebihi permata di dunia. Tabungan waktu itulah yang akan menjadi modal tak ternilai atas apa yang  telah kita perjuangkan dan korbankan. Pengorbanan melawan hujan serta ambisi dan afeksi yang berlebihan tak lebih dari sepotong kue (piece of cake). Dunia paralel bukanlah dunia yang kita harapkan untuk bisa mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Dunia ilusi yang bersifat klise. Sadar atau tidak kita akan kehilangan identitas yang melekat pada diri dan menggantinya dengan identitas baru.     

------ end -----

Artikel Terkait